
Adalah Kang Mangil. Laki-laki paruh baya yang begitu intim dengan beberapa petak sawahnya.
Saya bersyukur.
Mempunyai warga dusun macam Kang Mangil. Bekerja penuh hari, penuh hati, dan penuh konsistensi.
Setiap berangkat ke Balai Dusun, saya tidak jarang menjumpainya. Bersama istrinya, Yu Tari, mereka seolah sedang menyajikan potret kehidupan yang jujur, dan selaras dengan alam; kepadaku.
Hingga pada sebuah pagi, saya sengaja menghentikan laju sepeda motor, dan menepi untuk berbincang dengan Kang Mangil.
Pertama-tama, saya bertanya perihal jenis padi yang hendak ditanam pada musim tanam tahun ini. Ia tegas menimpal bahwa ia berencana menanam padi jenis Pertiwi.
“Bagus,” sahutku, tanpa berfikir jika saya sama sekali awam soal jenis dan nama benih padi.
Sebenarnya, lanjut Kang Mangil, setiap jenis benih padi pada hakekatnya sama. Baik atau buruk pada hasil akhirnya, bukan ditentukan pada jenis benih padinya. Melainkan, tegas Kang Mangil, lebih ditentukan pada proses memeliharanya.
Lantas, perbincangan saya alihkan pada proses pengolahan sawah milik Kang Mangil.
Menurut Kang Mangil, ia adalah satu-satunya petani yang jarang menggunakan Hand Tracktor untuk membajak sawah. Sebab, ia memiliki beberapa ekor kerbau yang kerap ia manfaatkan untuk membajak sawah setiap musim tanam tiba.
Dari situ, seolah-olah saya menyimpulkan bahwa menggunakan kerbau untuk membajak sawah, adalah sebaik-baik, dan sebijak-bijaknya petani mengolah sawah.
Sebab, sejauh dan secanggih apapun teknologi dibidang pertanian, tetap saja memiliki efek domino.
Toh, nenek moyang sudah menyajikan fakta; jauh sebelum mesin teknologi pertanian lahir, hasil pertanian lebih melimpah berkat kerbau.
Karena itulah, Kang Mangil tetap setia memelihara kerbau-kerbau miliknya.
Gudel
Mula-mula, tutur Kang Mangil, ia hanya memiliki sepasang kerbau berjenis kelamin perempuan, dan laki-laki. Lambat laun, pasangan itu bernak-pinak.
Di dusun saya, anak Kerbau jamak dikenal dengan istilah Gudel.
Pernah pada suatu ketika, kerbau milik Kang Mangil melahirkan. Ia merasa senang. Sebab, Gudel adalah harapan. Ia pengganti induknya jika suatu saat nanti, sang induk sudah lelah membajak sawah, dan saat pemilik ingin menjualnya.
Tak dinyana, Gudel Kang Mangil mengalami naas. Gudel harapan itu mati. Sebelum mati, sejatinya Kang Mangil sudah menhubungi mantri hewan. Namun, nyawa sang Gudel tak terselamatkan.
Bagi Kang Mangil, Gudel merupakan nyawa kehidupan. Setiap yang baru lahir, adalah harapan. Dan setiap harapan, adalah mimpi untuk merubah kehidupan.
Seperti Kang Mangil dengan anak dan cucunya, maka kehidupan memelukan generasi.
Merdeka Memaknai Kesejahteraan Desa
Prihal terakhir yang saya bincangkan dengan kang Mangil adalah soal kesejahteraan desa.
Rupanya, Kang Mangil tidak memahami apa yang saya singgung tentang kesejahteraan. Yang ia tahu, katanya, ia pernah menonton sebuah iklan Pilkada di televisi yang menggembrokan kesejahteraan.
Sedang apa itu kesejahteraan, ia tidak paham.
Lantas, saya bercerita soal Undang-Undang Desa No. 06 tahun 2014. Saya menegaskan kepada Kang Mangil bahwa masyarakat desa harus sejahtera dengan adanya Undang-Undang tersebut.
Bahwa masyarakt desa seperti Kang Mangil, harus sejahtera.
Bahwa penduduk desa macam Kang Mangil, berhak menerima kesejahteraan atas pembangunan desa yang telah terlaksana.
Bahwa penduduk desa macam Kang Mangil, berhak mengetahui informasi perihal anggaran biaya pembangunan desa.
Bahwa usai saya berkisah demikian, Kang Mangil hanya mangut-mangut. Entah paham, entah tidak.
Hanya saja, sebelum saya benar-benar mengakhiri perbincangan pagi itu, ia sempat berpesan kepadaku.
“Mas, saya tidak paham kesejahteraan. Yang saya tahu, jika saya punya banyak Gudel, dan panen melimpah, saya merasa bahagia. Jangan paksa saya untuk memahami kalimatmu itu. Sebab, orang macam saya, punya kebebasan sendiri untuk memaknai hidup saya,”.
Ia sempat berhenti bicara sebentar. Sebelum akhirnya melontarkan kalimat-kalimat berikut kepada saya.
“Mas, jika sejahtera adalah tujuan pembangunan desa, kenapa masih banyak masyarakat yang menerima Raskin? Atau kenapa program Raskin tetap dilaksanakan? Bukankah program itu justru merusak mental masyarakat? Bukankah program-program bantuan itu melahirkan mental miskin masyarakat?”
Seketika, saya starter motor, gaspol, lalu ngacir sekencang-kencangnya…
Sampai di kantor, saya membatin: “Benar kata Kang Mangil,”. Lantas saya nyruput kopi.
Tabik…
yang penting hidup secukupnya saja, cukup buat beli beli apa, cukup buat jalan jalan, dan slalu bersyukur pastinya.. wuehehe
Haha..benar. Cukup buat beli mobil, pesawat pribadi ya? haha…eniwe yang paling penting emang bersyukur.
Saya selalu suka cerita-cerita mengenai desa dan kehidupannya. Apalagi di blog ini ada kategori khusus: Desa. Sangat bergizi.
Saya penasaran, di desa manakah panjenengan bermukim? Jadi kepengin ngopi bareng 😀
Saya tinggal di sebuah Desa di Kaki Gunung Slamet bagian timur Kang Rifqy? Teptatnya di desa Dagan, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Monggo Kang, kalau mau ngopi bareng..
Kang Magil, coba cari tahu di kecamatan biasanya ada PID; Program Inovasi Desa, bantuannya diserahkan kepada kelompok2 masyarakat desa yang berkarya … mungkin Kang Magil bisa dapat bantuan dari dana desa buat menambah ‘armada kerbau’. Insha Allah. Tapi ya itu … yang penting adalah pemeliharaan (sawah) dan bekerja dengan setulus hati. Semangat, Kang Magil!
Sudah disurvei petugas PKH Mba? Namun, karena kepemilikan Kerbau dan sawah, yang kemudian dinilai dengan rupiah, maka ia tidak menerima PKH. Demikianlah..
Kalau di daerah saya, Gudel itu Kebo cilik / anaknya kerbau.. beda2 ya..
Salam utk Lang Mangil yg arif ya pak..semoga hasil panennya bagus ..
Ah di sini juga sama Mba Mechta? Gudel itu ya anak kerbau yang masih cilik. Okeh…Kang Mangil sudah panen kemarin. Sayang, sebagian diserang hama tikus.